Mengenal Kehidupan dan Pelayanan Rasul Paulus


MENGENAL LATAR BELAKANG DAN PELAYANAN RASUL PAULUS
I.                   Latar belakang kehidupan Rasul Paulus
Informasi tentang Paulus hanya kita peroleh dari dua sumber, yaitu Kisah Para Rasul yang merupakan tulisan kedua dari penginjil Lukas serta dari surat-surat Paulus itu sendiri. Dari sumber pertama, kita mendapatkan informasi dari narasi yang disampaikan Lukas; sementara dari sumber kedua, kita mendapatkan informasi dari beberapa hal yang disampaikan Paulus dalam surat-suratnya tersebut.
Jika kita mencermati kisah hidup Paulus, paling tidak ada empat latar belakang yang sangat berpengaruh pada gagasan-gagasan teologisnya yang tercermin dalam surat-suratnya, yaitu: latar belakang pribadinya sebagai seorang Yahudi, latar belakang Hellenisme, pengaruh orang-orang Kristen sebelumnya dan pengaruh peristiwa teofani yang dialaminya.

1.1. Latar belakang pribadinya

Paulus dilahirkan kira-kira pada awal abad pertama, di Tarsus, Kilikia (Kis. 9:11; 21:39; 22:3), sebagai anak keluarga Yahudi Hellenis diaspora dari suku Benyamin (Flp. 3:5). Orang tuanya memberinya nama Saul (Kis. 13:9) seperti nama raja Israel pertama (2 Sam. 9:1-2, 21), yang dalam bahasa Ibrani berarti mencari. Dalam perjalanan misionernya yang pertama, namanya diganti Paulos (Kis. 13:9), yang dalam bahasa Latin berarti kecil. Nama ini dapat diterima, baik oleh orang-orang Romawi, maupun orang-orang Yunani. Dalam bahasa Ibrani, nama ini berarti luar biasaagungmengagumkan atau seseorang yang memiliki kemauan kuat. Hal ini sesuai dengan sosok yang digambarkan dalam Kisah 8:3.[1]  Sekalipun demikian, menurut pengakuannya sendiri, secara fisik Paulus memiliki berbagai kelemahan dan menanggung berbagai penderitaan, baik fisik, maupun mental (2 Kor. 4:7; 5:2; 11:30; Ef. 3:8; Flp. 3:21, dsb.).[2]
Filipi 3:5 menyatakan bahwa ia adalah orang Ibrani asli. Hal ini mengungkapkan bahwa ia bukanlah seorang proselit yang memeluk agama Yahudi, melainkan benar-benar seorang yang dilahirkan sebagai orang Yahudi. Menurut hukum Yahudi, pada usia 13 tahun seorang anak laki-laki Yahudi harus diserahkan sebagai bar mitzvah (anak perjanjian), dan sejak saat itu ia bertanggung jawab terhadap Taurat, di bawah bimbingan para rabbi. Pada usia itulah Paulus tiba di Yerusalem untuk melanjutkan sekolahnya di bawah bimbingan Gamaliel, seorang rabbi dari aliran Hillel yang paling hebat pada masa itu (Kis. 22:3). Wajar jika ia menjadi seorang yang amat fanatik terhadap tradisi bapa-bapa leluhurnya. Secara eksplisit Paulus mengaku sebagai seorang Yahudi, seorang Ibrani yang terdidik dalam tradisi para leluhurnya dengan baik, sehingga tergolong orang Farisi (Flp. 3:5; 2 Kor. 11:22; Kis. 22:3).[3] Orang tua Paulus adalah orang-orang Yahudi yang keras. Sejak kelahirannya, ia memang dipersembahkan untuk melayani Allah dan dipersiapkan untuk menjadi seorang Yahudi yang baik. Sejak bayi telah diajarkan kepadanya pengakuan, “Dengarlah hai Israel, Tuhan Allah kita itu esa, karena itu kasihilah Tuhan, Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan segenap kekuatanmu” (Ul. 6:4-5).[4]
Secara objektif, dalam kekristenan primitif, rupanya Paulus bukanlah pemikir yang paling menentukan dan berpengaruh. Hal ini didukung oleh kenyataan bahwa ia tidak pernah mengenal Yesus dalam pelayanan-Nya di dunia, karena ia tidak berada di Galilea semasa Yesus mewartakan ajaran-Nya. Paulus hanyalah salah seorang di antara para penulis teks-teks PB, yang sejarah dan kisah pribadinya hanya sedikit ditemukan di luar tulisan-tulisannya sendiri (dan kitab Kisah Para Rasul). Namun tidak dapat disangkal bahwa dalam perkembangan selanjutnya, pemikiran teologis Paulus demikian mendominasi kekristenan. Juga merupakan fakta, bahwa presuposisi pemikiran Paulus yang substansial dibentuk di Palestina. Sekalipun demikian, pengaruh komunitas Hellenistik atas dirinya juga tidak dapat diabaikan (paling tidak dalam bahasa yang digunakannya). Diakui pula bahwa di berbagai tempat dalam surat-suratnya, Paulus menggunakan rumusan-rumusan tradisi yang telah ada sebagai titik tolak pemikiran teologisnya.[5]
Paulus tidak hanya setia terhadap warisan leluhurnya, melainkan juga menjadi seorang Farisi yang keras.[6] Kedudukan ini dipertahankan hingga masa setelah kematian Yesus dan munculnya jemaat perdana, baik di Yerusalem, maupun di lingkungan Hellenis (Flp. 3:5 dbr., Gal. 1:13 dbr.). Dengan pemikiran dan konklusi Farisinya, ia menganiaya para pengikut Yesus. Hal ini dikatakannya berulang-ulang (Gal. 1:23; Flp. 3:6; 1 Kor. 15:9; bdk. Kis. 9:1-3; 22:4-5; 26:9-31). Alasan untuk menganiaya orang-orang Kristen dijelaskan dalam Galatia 1:13-15 dan Filipi 3:5-6, yaitu demi kesetiaannya kepada Taurat. Paulus adalah orang Yahudi yang setia terhadap kota kudus Yerusalem, Bait Allah dan Taurat. Ia menganggap Yesus telah menghancurkan Taurat dan menganggap semua orang Kristen sebagai musuh Taurat serta penghujat Allah; meskipun pada waktu itu komunitas Kristen di Yerusalem tidak bermaksud melepaskan diri dari umat Allah Israel dengan segala hak istimewanya. Hal yang membedakan mereka dengan umat Yahudi pada umumnya adalah kepercayaan mereka bahwa setelah kematian-Nya di kayu salib, Yesus bangkit dan akan segera kembali sebagai Mesias. Bagi pemikiran Yahudi, hal ini merupakan ilusi yang asing, meskipun tidak cukup menjadi alasan untuk mengeluarkan orang-orang Kristen dari komunitas mereka. Namun, antusiasme apokalyptis orang-orang Kristen (terutama gerakan Stefanus, seperti diceritakan dalam Kis. 6-7) dianggap sebagai ancaman terhadap dasar-dasar agama Yahudi yang tidak dapat lagi ditoleransi.[7] Di mata orang-orang Yahudi, pemberitaan Stefanus merupakan kemurtadan yang sangat serius.
Justru karena Paulus benar-benar memahami Perjanjian Lama (PL) dan Yudaisme ortodoks secara mendalam, maka di kemudian hari, setelah menjadi Kristen, ia dapat menilai kekristenan sebagai penggenapan aspirasi spiritual Israel. Perlawanan Paulus terhadap Yudaisme, menjadi efektif karena ia memiliki pengetahuan yang baik tentang Yudaisme.
Mengenai diri Paulus, Pinchas Lapide, seorang sarjana Yahudi abad XX, memiliki pikiran senada dengan Trypho (abad II Masehi). Ia mengatakan bahwa Pauluslah yang membawa berita mengenai Mesias Yahudi kepada dunia kafir dengan komitmen iman secara penuh. Ia berhasil menjadi orang Yunani bagi orang Yunani; dan menjadi orang Yahudi bagi orang Yahudi (bdk. 1Kor. 9:20-22). Ia memiliki keberanian untuk mempresentasikan imajinasi religiusnya. Ia sadar bahwa dirinya akan ditolak oleh orang Korintus atau Roma, jika datang untuk mengajarkan Mesias Yahudi, Anak Daud, yang diurapi. Sebab, sudah tentu masyarakat Korintus dan Roma tidak akan memahami apa yang dikatakannya. Untuk telinga Yunani dan Romawi, Paulus berbicara dalam bahasa inkarnasi Anak Allah dan Logos, Firman Ilahi yang telah turun ke dunia untuk menebusnya. Pada sisi lain, hal itu tidak akan bermakna bagi para gembala dan penangkap ikan di Galilea. Itulah sebabnya, di Yerusalem, Paulus tampak sebagai seorang saleh, seorang Yahudi beriman yang memberitakan Mesias Yahudi; sementara bagi orang Yunani ia berbicara mengenai Juruselamat, Anak Allah.[8] Namun yang jelas, sebagai seorang Yahudi asli, ia memelihara doktrin-doktrin dasar Yudaisme, antara lain:
1.       Bahwa Allah itu esa adanya, benar dan suci.
2.       Bahwa Israel adalah bangsa yang terpilih.
3.       Bahwa Taurat adalah penyataan kehendak Allah bagi manusia.
4.       Bahwa Mesias akan datang untuk melepaskan umat-Nya.
Ketika Paulus menjadi Kristen, doktrin-doktrin tersebut tetap melandasi pandangan teologisnya.

1.2. Pengaruh Hellenisme
Sekalipun Paulus tergolong orang Farisi tulen, murid Gamaliel, rabbi Yahudi yang amat terkenal (Flp. 3:5; Gal. 1:14; Kis. 22:3), namun sebagai seorang Yahudi diaspora (Kis. 22:3), ia juga hidup dalam lingkungan pendidikan Hellenis, paling tidak, dalam perjumpaannya dengan orang-orang non-Yahudi di Tarsus, kota Hellenis itu (1 Kor. 9:24-25; 15:33). Bahkan secara kewarganegaraan, ia adalah warga negara Romawi, karena ayahnya adalah warga negara Romawi (Kis. 22:25-29). Karena itu, formulasi teologinya tidak hanya menggunakan pemikiran, konsep atau gagasan-gagasan Yahudi Palestina, melainkan juga konsep-konsep Yahudi Hellenis dan gagasan-gagasan kafir Hellenis. Memahami teologi Paulus hanya dari salah satu sisi, tentu kurang tepat, karena Yudaisme Palestina dan Yudaisme Hellenistik bukanlah dua entitas yang terpisah secara tajam.[9] Kalaupun Paulus terpengaruh oleh Hellenisme, hal tersebut wajar, karena:
1.       Alkitab Paulus adalah Septuaginta (LXX), sehingga secara tidak langsung di dalamnya ada pengaruh keyunanian.
2.       Semua surat Paulus ditulis dalam bahasa Yunani sehari-hari.
3.       Selama 30 tahun, selaku missionaris, Paulus melayani dunia di bawah peradaban Yunani.
4.       Kadang-kadang Paulus menggunakan istilah-istilah yang dipakai dalam agama-agama rahasia Yunani, sekalipun diisi dengan makna Injili.
Meskipun demikian tidak berarti bahwa Paulus sepenuhnya memahami Yesus dalam konsep Hellenistis.
Dapat dikatakan bahwa Paulus adalah teolog Kristen yang pertama. Ia adalah seorang teolog misioner, yang pemikirannya sangat ditentukan oleh percakapannya dengan persekutuan yang menjadi alamat surat-suratnya. Pada dasarnya, refleksi Paulus tidak berupa paparan sistematis, melainkan berhubungan dengan tugas-tugas misionernya, sesuai dengan situasi tertentu dan untuk para pembaca tertentu. Paulus menganggap para pembacanya telah memiliki presuposisi argumen sebelumnya, sehingga tidak semua hal perlu dikatakan atau dijelaskan kepada mereka.[10]
Dapat dikatakan bahwa kristologi dalam PB, doktrin tentang keselamatan dan ketuhanan Yesus, sebagian besar dikemukakan oleh Paulus. Informasi tentang Yesus dalam PB beraneka ragam dan kadang-kadang berasal dari sumber-sumber yang berlainan. Karena itu, kristologi kekristenan di kemudian hari banyak bergantung pada Paulus sebagai pemikir yang cerdas dan penulis yang paling awal mengenai gerakan Yesus.
Beberapa teolog berpendapat bahwa dalam PB, Yesus dibicarakan, baik sebagai Mesias, maupun sebagai Logos, pribadi ilahi. Menurut Lapide, sebagai Mesias Yahudi, Yesus tidak lebih hanyalah seorang manusia biasa seperti kita. Meskipun demikian, Ia dipilih untuk melaksanakan peran mesianis-Nya. Sedangkan sebagai Logos, Ia adalah pribadi ilahi yang turun ke dunia untuk menyelamatkan manusia. Oleh Paulus, Mesias Yahudi tersebut dihadirkan dalam bahasa mitologi Yunani.[11] Trypho, Lapide dan Adolf von Harnack, secara esensial memiliki kesamaan pandangan, bahwa pengakuan terhadap Yesus sebagai Firman Allah atau Logos, merupakan sesuatu yang mustahil bagi lingkungan Yahudi. Namun pada sisi lain, mereka mengatakan bahwa bagi dunia Yunani, pembahasaan tersebut tidak mungkin dihindari.

1.3. Pengaruh orang-orang kristen sebelumnya

Menurut A.M. Hunter, wajar jika pemikiran Paulus sedikit banyak terpengaruh oleh orang-orang Kristen sebelumnya. Hunter mendaftar tujuh hal yang diperoleh Paulus dari jemaat perdana, yaitu:
·         Paulus menerima kerygma rasuli dari jemaat perdana (1 Kor. 15:3), sekalipun tidak berarti bahwa seluruh pemberitaan Paulus tergantung pada gereja perdana, seperti dikatakannya sendiri, bahwa Injilnya berasal dari Kristus.
·         Pengertian Paulus bahwa Yesus adalah Mesias, Tuhan dan Anak Allah, kemungkinan besar diperoleh dari jemaat perdana.
·         Pemahamannya bahwa Roh Kudus adalah ‘kuasa dinamis kehidupan baru’ berasal dari jemaat perdana.
·         Doktrin tentang gereja sebagai Israel Baru berasal dari jemaat perdana.
·         Sakramen baptis dan Perjamuan Tuhan dikenal melalui jemaat perdana
·         Perkataan-perkataan Yesus yang dikutip Paulus pasti berasal dari jemaat perdana, sebab Paulus tidak berkesempatan menyaksikan kehidupan Yesus secara langsung.
·         Keyakinan terhadap parousia juga diperoleh dari jemaat perdana.[12]

Jika diperhatikan dengan seksama, pemikiran kristologis Paulus pun tidak terlepas dari pengaruh tradisi jemaat perdana. Di berbagai tempat dalam surat-suratnya, rupanya Paulus mengutip tradisi-tradisi yang lebih awal. Kutipan-kutipan itu mengingatkan kita pada kerygma kristologis tahun-tahun 30-40 dalam jemaat awal. Dalam 1 Korintus 15:3-5, tampak jelas bahwa Paulus mengutip rumusan yang telah ada. Secara eksplisit ia menyatakan bahwa apa yang dikatakannya berasal dari para pendahulunya. Hal ini mengingatkan kita pada peristiwa dalam perjalanan ke Damsyik di sekitar 33, ketika Paulus menerima panggilannya; atau mengingatkan kita pada kunjungan Paulus yang pertama ke Yerusalem sekitar 35, setelah peristiwa pertobatannya.[13]
Dalam ayat-ayat tersebut kita tidak menemukan berita apa pun mengenai kelahiran Yesus atau kehidupan duniawi-Nya. Fokusnya terutama adalah akhir hidup Yesus. Kemungkinan, Paulus mengutip secara selektif rumusan-rumusan tradisi yang sudah ada, yang relevan dengan argumen-argumen yang dipaparkannya dalam 1 Korintus 15. Fokus eksklusif yang dibicarakan adalah akhir keberadaan Yesus di dunia (bdk. 1 Tes. 1:9). Sekalipun yang dibicarakan adalah kematian Yesus, fokusnya tetap kebangkitan dan kedatangan-Nya kembali. Sementara itu, awal kehidupan Yesus tidak disinggung sama sekali.
Dalam surat perkenalannya kepada jemaat Roma, Paulus tidak mengingatkan jemaat mengenai ajaran-ajaran yang telah diberikannya, melainkan mengenai tradisi yang telah mereka dengar (Rm. 10:8-9). Sekali lagi, fokusnya adalah kebangkitan Yesus dan peneguhan-Nya sebagai Tuhan. Di awal surat Roma, Paulus berbicara tentang Injil yang dipercayakan kepada para rasul untuk diberitakan. Injil yang dimaksud Paulus berbeda dengan pengertian pada umumnya, karena ia berbicara kepada orang-orang yang telah menjadi Kristen melalui pekerjaan para misionaris yang lain (diduga mereka adalah orang-orang Kristen Yahudi). Kemungkinan besar jemaat Roma terdiri dari orang-orang Yahudi yang agak konservatif di sekitar Petrus (Rm. 1:3-4). Paulus juga seorang Yahudi, namun ia berbeda dengan orang-orang Kristen Yahudi konservatif di sekitar Yakobus, atau yang agak konservatif di sekitar Petrus, atau kelompok Yahudi Kristen radikal di sekitar Stefanus.[14]
Dikatakan bahwa Yesus adalah ‘keturunan Daud,’ yang secara harfiah berarti ‘berasal dari benih Daud.’ Hal ini memiliki konotasi bahwa Yesus bukanlah Mesias sejak dilahirkan, sebab, ‘keturunan Daud’ tidak serta-merta memiliki konotasi mesianis. Ungkapan itu hanya menunjukkan bahwa nenek-moyang Yesus adalah keturunan Daud. Kemesiasan Yesus baru ditunjukkan oleh kebangkitan-Nya. Sedangkan gelar ‘Anak Allah’ tidak digunakan dalam arti ontologis, melainkan mengindikasikan fungsi dan peranan-Nya. Momentum kristologis bukanlah kelahiran Yesus, melainkan kebangkitan-Nya.   
Di dalam surat-surat Paulus terdapat rumusan-rumusan yang berasal dari masa pra-Paulus. Hal ini masuk akal, mengingat surat-surat Paulus ditulis sebelum Injil-injil yang terawal. Diperkirakan surat 1 Tesalonika merupakan dokumen tertua dalam PB. Itu berarti bahwa tulisan-tulisan Paulus didasarkan pada pemberitaan awal mengenai fakta Yesus (misalnya, penetapan Perjamuan Kudus dalam 1 Kor. 11:23-26).[15] Inti kristologi narasi kerygmatis dalam Kisah 2 dan 10 dapat diduga berasal dari rumusan komunitas Kristen awal di Yerusalem. Khotbah Petrus pada hari Pentakosta, yang berpusat pada kematian dan kebangkitan Yesus (Kis. 2:22), berasal dari rumusan jemaat awal. Kata ‘Nazaret’ dalam ayat ini menunjukkan asal-usul Yesus. Namun fokus utamanya adalah kematian dan kebangkitan-Nya (Kis. 2:23-24a, 32a, 36). Bagi Paulus, kebangkitan tetap merupakan momen kristologis yang utama. Rumusan tersebut digunakan Paulus dalam Roma 1:3-4. Kebangkitan merupakan momentum ketika Yesus ‘dijadikan’ Tuhan dan Kristus, serta ‘diangkat’ sebagai Anak Allah. Yesus menjadi manusia istimewa, karena Allah melakukan pekerjaan-pekerjaan besar melalui Dia. Dari momentum tersebut kemudian ditarik mundur ke belakang hingga aktivitas Yohanes Pembaptis dan pengurapan Yesus dengan Roh Kudus, sebelum Ia memulai pelayanan-Nya (Kis. 10:36a, 37-39a). Namun, kematian dan kebangkitan Yesus tetap merupakan dasar kristologinya.
Formulasi pra-Paulus yang lain kita temukan dalam Galatia 4:4-5. Paulus kemudian memperluas formulasi ini dengan memasukkan kisah kelahiran Yesus di bawah Taurat untuk menebus mereka yang hidup di bawah Taurat. Tambahan ini mencerminkan maksud teologis Paulus, dan bukan merupakan bagian dari formula asli. Dalam Filipi 2:6-11, Paulus juga mengambil rumusan kristologi sebelumnya, yang telah lebih berkembang. Di dalamnya tercermin ‘formula pengutusan,’ yang memiliki pola umum: kata-kata pengutusan dari Allah sebagai subjek, Anak Allah sebagai objek, kemudian diikuti dengan frasa yang berisi maksud soteriologis pengutusan tersebut.[16] Formula pengutusan ini menarik mundur momen kristologis, dari akhir kehidupan Yesus ke awal pelayanan-Nya; dari kebangkitan-Nya ke permulaan misi-Nya. Perlu dicatat bahwa pengutusan Yesus itu tidak menunjuk kepada praeksistensi-Nya, melainkan kepada pengutusan-Nya secara historis.
Sekalipun tidak dapat dipastikan, dapat diduga bahwa setelah Paskah, jemaat perdana melanjutkan pemberitaan mengenai Yesus sebagai nabi besar terakhir yang diutus oleh Allah. Gelar Anak Allah dalam peristiwa pembaptisan Yesus ditarik mundur dari peristiwa kebangkitan-Nya. Hal ini jelas dalam kesaksian Injil mengenai peristiwa pembaptisan Yesus, ketika terdengar suara dari surga yang menyatakan bahwa Dia adalah ‘Anak Allah’ (Mk. 1:11). Harfiahkah maknanya? Tidak harus demikian. Rumusan suara dari sorga itu dapat pula bermakna proklamasi, bahwa Yesus adalah hamba Allah. Dengan kata lain, rumusan tersebut lebih menunjuk kepada peran profetis Yesus ketimbang kepada hakikat ontologis-Nya sebagai Anak Allah yang ilahi. Hal ini menjadi lebih jelas jika kita membaca Galatia 4:4. Allah mengutus Yesus bukan pada waktu kelahiran, melainkan pada waktu pembaptisan-Nya.

1.4. Peristiwa Theofani yang dialaminya

Dalam Kisah Para Rasul ada tiga versi berita mengenai peristiwa yang terjadi dalam perjalanan ke Damsyik - yang secara populer sering disebut sebagai peristiwa pertobatan Paulus, yaitu dalam Kisah 9:1-19a, 22:6-16 dan 26:12-18. Membandingkan ketiga versi cerita tersebut, kita temukan tiga perbedaan yang menarik untuk diperhatikan.[17]
·         Dalam Kisah 9:7 dikatakan bahwa teman-teman seperjalanan Paulus termangu-mangu, karena mereka mendengar suara dari langit, namun tidak melihat seorang jua pun. Sementara dalam Kisah 22:9 dikatakan bahwa teman-teman yang menyertainya memang melihat cahaya, namun suara yang berbicara kepadanya tidak mereka dengar. Sedangkan dalam Kisah 26:14, mereka semua hanya mendengar suara saja. Ketiga versi tersebut memuat perbedaan mencolok, yang dikutip oleh penulis Kisah Rasul ke dalam karyanya tanpa disadarinya. Meskipun hal ini diketahui oleh jemaat Kristen abad pertama, mereka tidak mempersoal-kannya. Rupanya, yang penting bagi mereka adalah bahwa ada sekelompok orang bersama Paulus dalam perjalanan menuju Damsyik mendengar suara dari langit, namun hanya Paulus sendirilah yang memahami maknanya.
·         Masalah kedua menyangkut kata-kata yang didengar oleh Paulus. Dalam ketiga versi berita itu ada suara, “Saulus, Saulus, mengapa engkau menganiaya Aku?” (9:4; 22:7; 26:14). Tetapi hanya cerita dalam manuskrip tertua saja yang menambahkannya dengan kalimat “Sukar bagimu menendang ke galah rangsang” (26:14). Frasa ini merupakan ungkapan Yunani yang berarti “perlawanan terhadap dewa.” Kemungkinan, ungkapan ini telah dikenal pula oleh lingkungan Yahudi. Sangat mungkin, ketika berbicara dengan Agripa II, Paulus menambahkan ungkapan ini pada perkataan Tuhan, untuk membuat sang raja sadar bahwa kritik dari surga itu diberikan oleh Allah sendiri. Rasanya, Paulus sendiri tidak memerlukan hal itu (Kis. 9), demikian pula bagi para pendengar Yahudi di Yerusalem (Kis. 22); karena bagi mereka, suara dari langit itu diyakini berasal dari Allah sendiri. Namun untuk menyampaikan berita itu kepada orang kafir, Paulus merasa perlu menggunakan peribahasa Yunani, sehingga pesan surgawi itu dapat dipahami oleh pendengar atau pembacanya.
·         Hal ketiga, kapan Paulus menerima penugasan untuk memberita-kan Injil kepada orang kafir, sulit ditentukan. Kisah 9 menyiratkan bahwa hal tersebut terjadi melalui Ananias yang dikirim untuk menjelaskan makna perjumpaan Paulus dengan Tuhan di jalan ke Damsyik itu. Namun Kisah 22, meskipun menyinggung pela-yanan Ananias, rupanya menghubungkan kata-kata “Aku akan mengutus engkau jauh dari sini kepada bangsa-bangsa lain” (ayat 21) dengan penglihatan yang diterimanya di kemudian hari, ketika Paulus berada di Bait Allah di Yerusalem. Sedangkan Kisah 26 menyiratkan bahwa pengutusan tersebut diterima ketika Paulus masih berada di jalan ke Damsyik. Namun bagi Paulus, perjumpaan dengan Tuhan, pelayanan Ananias dan penglihatan yang diterimanya di kemudian hari di Bait Allah, semua itu merupakan bagian dari peristiwa yang sama. Kemungkinannya, Kisah 9 menceritakan rangkaian peristiwa real sehubungan dengan teofani yang dialami Paulus; Kisah 22 menambahkan penglihatan di Yerusalem tiga tahun kemudian sebagai penegasan pengutusan Paulus; dan Kisah 26 merupakan kesaksian ringkas kepada raja Agripa.

Mana pun versi yang sebenarnya terjadi merupakan persoalan sekunder. Hal penting yang hendak diberitakan adalah teofani yang dialami Paulus. Peristiwa itu telah menjadi titik balik yang menentukan bagi Paulus. Jika selama ini, sebagai ahli Kitab Suci dan Taurat, Paulus cenderung menempatkan Allah sebagai objek pikirannya, maka kini pengenalannya akan Allah diluruskan. Sama seperti kepada para leluhurnya, Allah menyatakan diri melalui pengalaman dan penghayatan mereka, kini Paulus pun mengalami hal serupa. Dengan cara-Nya yang unik, Allah telah menyatakan kehadiran-Nya kepada Paulus. Bertolak dari pengalaman yang baru inilah Paulus melihat bahwa di dalam pribadi Kristus, Allah telah menghadirkan diri dan bertindak untuk menyelamatkan manusia. Cara pandang baru ini tidak bertentangan dengan iman monoteistisnya kepada Yahwe. Justru dari kacamata monoteisnya, Paulus melihat bahwa pribadi Yesus merupakan pengejawantahan kehadiran Yahwe. Dalam hal ini, yang menjadi titik berat perhatiannya bukanlah hakikat Yesus secara ontologis, melainkan penyataan Allah yang sedang bertindak secara aktif, menghadirkan diri di tengah kehidupan manusia. Dalam pengertian seperti ini, gelar Kurios bagi Kristus, yang dipopulerkan dan paling disukai oleh Paulus, mendapatkan maknanya. Yesus merupakan paraga yang mengejawantahkan kehadiran Allah; karena itu, Ia layak mendapatkan gelar kehormatan yang paling tinggi, nama di atas segala nama, Kurios. Di dalamnya tidak tersirat adanya pemikiran biteis yang bertentangan dengan iman kepada Yahwe yang diwarisi dari para leluhurnya, sebagaimana disaksikan dalam Kitab Suci. Kalaupun ada pemikiran tentang inkarnasi, tentu tidak dalam pengertian metamorfosis, melainkan sebatas pemahaman terhadap pengejawantahan kehadiran Allah, tanpa mempersoalkan hakikat (nature) pribadi yang menjadi wahananya.

Perpindahan agama atau panggilan?

Kisah pengalaman Paulus di jalan ke Damsyik biasanya dipahami sebagai berita tentang pertobatannya menjadi Kristen. Benarkah berita perpindahan agama Paulus merupakan inti pesan yang hendak disampaikan? Di samping tiga versi narasi dalam Kisah Para Rasul (Kis. 9:1-19; 22:4-16 dan 26:9-19), berita yang sama terdapat pula dalam surat Paulus sendiri (Gal. 1:11-17). Membaca sepintas perikop-perikop tersebut, seakan-akan cukup beralasan untuk menganggap cerita tersebut sebagai berita mengenai peristiwa perpindahan agama Paulus. Sebagai orang Yahudi yang teguh, yang telah mengejar-kejar persekutuan Kristen, tiba-tiba, melalui peristiwa yang ajaib, ia sendiri menjadi Kristen.
Namun jika dicermati, berita-berita itu tidak dapat dilepaskan dari keadaan Paulus sebelum dan sesudahnya. Paulus adalah seorang Yahudi, terdidik dalam tradisi Farisi, murid Taurat dan penyembah setia Allah Abraham. Panggilannya tidak dapat dipahami sebagai perpindahan agama dari Yahudi menjadi Kristen, sebab, ia tetap menyembah Allah Abraham, yang satu dan sama, yaitu Yahwe, serta tetap menganggap diri orang Yahudi. Hanya saja, panggilan atau teofani yang dialaminya itu telah mengubah pengertiannya terhadap Allah Abraham. Pikirannya mengenai Hikmat dan kuasa Allah kini berubah. Perubahan ini bagi orang lain merupakan batu sandungan serta kebodohan. Kini ia memahami bahwa Allah telah menyatakan diri dalam diri Yesus yang disalibkan dan bangkit itu. Ia mengerti bahwa Allah telah bertindak dalam diri Kristus yang disalibkan untuk menebus umat manusia, bukan hanya mereka yang berada di bawah hukum Taurat, melainkan juga orang-orang kafir. Sesuai dengan tradisi monoteisme Yahudi, Paulus tidak mempersoalkan keberadaan Allah. Ia juga tidak mempertanyakan apakah Yahwe juga menjadi Allah agama-agama lain. Pokok yang menjadi perhatian utamanya adalah pemahaman, atau lebih tepatnya, pengalaman, mengenai kehadiran Allah.[18]
Dalam ibadahnya kepada Allah Abraham, kini Paulus menerima panggilan istimewa. Benar bahwa pengalaman Paulus telah menjadi titik balik perspektifnya terhadap Kristus. Namun hal itu merupakan pengalaman pribadi yang unik. Penulis Kisah Para Rasul dan Paulus sendiri sama sekali tidak ingin menonjolkannya. Hal yang ingin dikedepankan adalah bahwa Allah telah memanggil dirinya, sebagai seorang Yahudi, untuk membawa berita kepada orang-orang kafir. Jadi, inti pesan yang hendak disampaikan dalam cerita pengalaman Paulus itu, seperti dikemukakan juga oleh Krister Stendhal, bukanlah perpindahan agama, melainkan panggilan dan pengutusannya. Ketimbang sekadar berpindah agama, Paulus dipanggil untuk suatu tugas khusus, yaitu sebagai rasul untuk orang-orang kafir.[19]
Setelah menegaskan bahwa Injil yang diterimanya bukanlah dari manusia, melainkan dari penyataan Yesus Kristus (Gal. 1:12), Paulus menambahkan penjelasan:
“Sebab kamu telah mendengar tentang hidupku dahulu dalam agama Yahudi: tanpa batas aku menganiaya jemaat Allah dan berusaha membinasakannya. Dan di dalam agama Yahudi aku jauh lebih maju dari banyak teman yang sebaya dengan aku di antara bangsaku, sebagai orang yang sangat rajin memelihara adat-istiadat nenek moyangku. Tetapi waktu Ia, yang telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh kasih karunia-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi, maka sesaat pun aku tidak minta pertimbangan kepada manusia …” (Gal. 1:13-16)

Jika perikop tersebut dibaca dengan seksama, jelas ada petunjuk bahwa Paulus bertolak dari beberapa bagian PL. Dikatakan bahwa Allah telah mengususkan atau memilih dia sejak dalam rahim ibunya, memanggilnya ke dalam anugerah dan memberinya tugas untuk orang-orang kafir (bdk. Yes. 49:1; 49:6; Yer. 1:5). Dengan demikian, dalam surat Galatia, Paulus melukiskan pengalamannya dalam terminologi profetis sebagaimana panggilan Yesaya dan Yeremia.[20] Ia dipungut Allah melalui peristiwa profetis untuk membawa pesan-pesan Allah bagi orang-orang kafir. Hal yang ingin ditekankan adalah panggilan dan pengutusannya, bukan peristiwa perpindahan agamanya.[21]
Narasi dalam Kisah 22: setelah Ananias berbicara kepada Paulus tentang misi khususnya (Kis. 22:14-15), kemudian Paulus mendengar firman Tuhan, “Pergilah, sebab Aku akan mengutus engkau jauh dari sini kepada bangsa-bangsa lain” (Kis. 22:21). Sedangkan narasi dalam Kisah 26:16-18, yang diingat adalah panggilan Yehizkiel (lihat Yeh. 1:28; 2:1,3). Berita dalam Kisah 9:1-19, 22:4-16 dan dalam Galatia 1:13-16, rupanya mencerminkan tradisi yang sama mengenai panggilan profetis. Dengan demikian, terminologi ‘pertobatan’ Paulus harus dipahami dalam kerangka panggilan tersebut. Pokok persoalan yang dibicarakan bukanlah tentang perpindahan agamanya, melainkan panggilannya. Pergantian nama Saulus menjadi Paulus pun rupanya lebih tepat dipahami dalam konteks panggilannya, bukan perpindahan agamanya. Perubahan namanya melambangkan perubahan fokus pelayanan Paulus dari Yerusalem ke Roma (Kis. 1:18).[22]
Pengalaman Paulus tidak dapat dipahami sebagai ‘perpindahan agama’ dalam kerangka berpikir Barat, karena ia tetap berbahagia sebagai seorang Yahudi (Flp. 3:4-6).[23] Ia adalah seorang Yahudi yang cemerlang, yang bangga dengan keberhasilan yang dicapainya (Flp. 3:13-15) dan tidak pernah mengalami problem psikhologis karena menjadi Kristen.

Pengaruhnya terhadap Paulus

Paulus menjadi orang beriman tidak disebabkan oleh pengaruh langsung pemberitaan Yesus selama pelayanan-Nya di dunia. Ia tidak pernah bertemu Yesus duniawi (2Kor. 5:16). Pemahamannya terhadap Yesus tidak bertumbuh secara gradual, melainkan oleh peristiwa teofani yang tiba-tiba dialaminya, ketika Tuhan menampakkan kehadiran-Nya di jalan ke Damsyik. Peristiwa yang dialaminya lebih menunjukkan kebesaran anugerah Allah ketimbang inferioritas dirinya terhadap Taurat. Anugerah Allah tersebut bukan saja merupakan intervensi Allah dalam kehidupan Paulus secara pribadi, melainkan telah pula membebaskan perspektifnya dari dimensi kosmis (Gal. 1:15-16). Sekalipun titik berat pesan cerita pengalaman Paulus tersebut adalah panggilan dan pengutusannya sebagai rasul untuk bangsa kafir, tidak dapat dihindari, pengalamannya tersebut sangat berpengaruh, bahkan menjadi landasan teologinya. Ia meringkaskan ajarannya mengenai kebenaran Allah bukan didasarkan pada pelaksanaan hukum Taurat dengan teliti, melainkan didasarkan pada penyataan Allah di dalam Kristus dan melalui iman kepada-Nya (Rm. 3:21-23).[24]
Bertolak dari pengalaman perjumpaannya dengan Tuhan, Paulus berpendapat bahwa kita hanya dapat berbicara tentang Allah, jika sekaligus berbicara tentang dunia dan manusia, demikian pula sebaliknya. Seluruh pikiran Paulus berkisar pada dua kutub: Allah mencari manusia dan manusia mencari Allah. Pemikirannya tentang Allah selalu mengacu pada Yesus Kristus sebagai pengejawantahan kehadiran-Nya, serta pengaruh-Nya terhadap kehidupan di dunia ini. Baginya, bukan Yesus, bukan Allah atau bukan Taurat yang berakhir secara tragis, melainkan manusia - entah Yahudi atau non-Yahudi, yang secara sadar atau tidak, berusaha membatasi Allah dalam kehidupannya sendiri. Keadilan Allah yang dinyatakan di dalam dan melalui Kristus telah mengakhiri kecenderungan manusia tersebut.[25]
Setelah pengalamannya di jalan ke Damsyik, ada tiga akibat yang tidak terhindarkan bagi Paulus. Pertama, ia menyadari bahwa kehidupan dan aktivitasnya dalam Yudaisme selama ini tidak berada pada jalur yang benar (Flp. 3:5-8).[26] Perspektif manusiawi dan intelektualitasnya telah ia gunakan untuk membatasi pemahamannya terhadap Allah. Sekalipun pengenalan nenek-moyangnya terhadap Allah tidak didasarkan pada definisi dan konseptualisasi intelektual, tanpa disadari, sebagai ahli Kitab Suci dan hukum Taurat, ia telah menetapkan kategori-kategorinya sendiri bagi Allah. Allah dibatasi oleh ketentuan-ketentuan yang ditetapkan oleh logikanya sendiri. Itulah sebabnya, pada awalnya ia tidak dapat melihat kehadiran Allah dalam diri Yesus. Namun kini, teofani yang dialami telah mengoreksi kekeliruannya. Ia tidak mungkin lagi membenarkan diri.
Kedua, ia tidak dapat lari dari kesimpulan bahwa yang dikejar-kejarnya selama ini tidak lain adalah Allah sendiri. Kini ia menyadari bahwa Kristus adalah paraga yang telah mengejawantahkan kehadiran Allah, TUHAN (sic. sengaja ditulis dalam huruf besar semua) yang disembah oleh Israel. Ia harus membenahi seluruh asumsinya mengenai pribadi Yesus, kehidupan dan pelayanan-Nya, karena Allah telah mengakhiri dispute dalam dirinya. Kini ia melihat bahwa kematian Kristus di atas salib sungguh-sungguh merupakan penggenapan nubuat para nabi dan merupakan ketetapan Allah sendiri untuk membebaskan manusia dari dosanya. Ia harus pula mengakui bahwa kebangkitan Kristus pun merupakan penggenapan nubuat dan memberi kehidupan bagi mereka yang menerima-Nya (1Kor. 15:3-5).
Ketiga, ia sadar akan panggilannya, bahwa dirinya telah ditetapkan sebagai rasul bagi orang-orang kafir. Ia harus membawa berita kepada mereka tentang Yesus yang disalibkan dan bangkit itu, serta membawa mereka masuk ke dalam kesatuan tubuh Yesus (Rm. 11:13; 15:16; Gal. 1:11-16; bdk. Ef. 3:8). Dalam hubungannya dengan maksud Injil, Paulus merasa bahwa tidak ada perbedaan antara dirinya dengan para rasul yang lain.[27]

II.                Sumber yang perlu digali
Untuk melacak pemikiran teologis Paulus, sumber utama yang harus digali adalah surat-surat Paulus yang ‘asli,’ sekalipun di sana-sini mungkin perlu pula mempertimbangkan surat-surat deutero Paulin yang lain. Secara internal, 13 surat (tidak termasuk surat Ibrani) dalam PB menyebut nama Paulus sebagai penulisnya. Namun, dalam komunitas akademis, hanya tujuh di antara 14 surat-surat itu (termasuk Ibrani) yang disepakati benar-benar berasal dari tangan Paulus, yaitu 1 Tesalonika, Roma, 1 dan 2 Korintus, Galatia, Filipi dan Filemon.
Sekalipun terdapat konsensus di antara para sarjana biblika bahwa ketujuh surat itu berasal dari Paulus, kesatuan surat-surat itu masih dipertanyakan. Misalnya, 1 dan 2 Korintus diragukan kesatuannya. Beberapa ahli, seperti Edgar Goodspeed dan Norman Perrin, menduga bahwa kedua surat itu merupakan gabungan dari banyak surat pribadi. Demikian halnya, beberapa bagian dari surat-surat Paulus itu diduga merupakan sisipan, antara lain: Roma 1:18-2:29, 2 Korintus 6:14-7:1 dan Galatia 1:13-2:14.
Di samping surat-surat di atas, banyak pula tulisan di luar Alkitab yang dianggap ditulis oleh Paulus, namun sesungguhnya merupakan karya pseudopigraf. Sayangnya, hanya sedikit orang yang pernah membaca surat-surat Paulus di luar Alkitab (yang merupakan bagian dari apokrif PB). Sekalipun tidak termasuk dalam kanon Alkitab, tidak berarti bahwa surat-surat tersebut tidak berharga. Paling tidak, dari surat-surat itu kita dapat memperoleh gambaran tentang kondisi dan situasi waktu itu, termasuk gagasan-gagasan keagamaan yang tersebar luas di tengah masyarakat, yang melatarbelakangi surat-surat Paulus yang kanonik.
Beberapa surat Paulus (entah benar-benar ditulis oleh Paulus atau pseudonim dengan mengatasnamakan Paulus) yang tidak kanonik antara lain:
·         Surat 3 Korintus (suatu waktu diterima sebagai surat kanonik oleh gereja Ortodoks Armenia)
·         Surat kepada jemaat Laodikia 
·         Surat dari jemaat Korintus kepada Paulus
·         Surat kepada orang-orang Aleksandria.
Teks-teks yang bukan berupa surat dan dianggap ditulis oleh Paulus, antara lain:
·         Kisah Rasul Paulus dengan Thekla (The Acts of Thecla)
·         Kisah Rasul Petrus dan Paulus
·         Apokalupsis Paulus
·         Apokalupsis Paulus Koptik
·         Doa Rasul Paulus
·         Surat kepada Seneca, si orang muda.
Tentu saja tidak tertutup kemungkinan bahwa suatu saat para arkheolog akan menemukan surat-surat Paulus yang selama ini belum diketahui. Ada banyak kitab yang dirujuk oleh Alkitab, namun selama ini masih belum diketemukan, termasuk beberapa surat Paulus. Seandainya diketemukan, surat-surat itu tentu akan sangat berharga bagi kita, meskipun tidak dimasukkan ke dalam kanon Alkitab. Surat-surat yang dirujuk oleh Alkitab, namun hingga kini belum diketemukan antara lain:
·         Surat kepada jemaat Korintus yang pertama (bdk. 1Kor. 5:9)
·         Surat kepada jemaat Korintus yang ketiga yang sering disebut ‘surat-surat yang keras’ (bdk. 2Kor. 2:4; 7:8-9)
·         Surat kepada jemaat Efesus yang terdahulu (bdk. Ef. 3:3-4)
·         Surat kepada jemaat Laodikia (bdk. Kol. 4:16)

III.             Pelayanan Rasul Paulus
Paulus memahami teofani yang dialaminya sebagai panggilan istimewa untuk diutus menjadi rasul untuk bangsa-bangsa non-Yahudi. “Tetapi sewaktu Allah, telah memilih aku sejak kandungan ibuku dan memanggil aku oleh anugerah-Nya, berkenan menyatakan Anak-Nya di dalam aku, supaya aku memberitakan Dia di antara bangsa-bangsa bukan Yahudi” (Gal 1,15-16). Ia sadar bahwa dirinya harus berhadapan dengan orang-orang yang mempunyai latar belakang – baik religius maupun kultural – berbeda dengan dirinya. Ketika berhadapan dengan orang-orang sebangsanya ia dapat dengan mudah mengajak mereka merenungkan peristiwa Kristus sebagai pemenuhan janji Allah demi keselamatan manusia. Karena itu dalam karya misionernya, Paulus  selalu mulai dengan mengunjungi synagoge-synagoge, tempat berkumpul mereka yang sering disebut sebagai ‘orang-orang yang takut akan Allah’ (misalnya, di synagoga Antiokhia Pisidia, Kis 13,16.26). Di tengah-tengah orang sebangsanya, ia dapat mengawali pewartaannya bertolak dari latar belakang agama Yahudi yang sama.
Lain halnya ketika ia harus berhadapan dengan orang-orang non-Yahudi. Di hadapan mereka, Paulus tidak mungkin menerapkan refleksi teologis berdasar latar belakang Yahudinya. Ia membutuhkan ’bahasa’ yang berbeda. Di samping itu, dalam melaksanakan panggilannya, ia harus keluar dari Yerusalem untuk bertemu dengan bangsa-bangsa non-Yahudi di tempat tinggal mereka. Paulus tidak hanya menunggu, melainkan dengan rajin ia membawa pesannya dan berkeliling ke pelosok-pelosok Asia Kecil untuk mewartakan Injilnya.
Secara tradisional dikatakan ada tiga atau empat perjalananan misionaris yang dilaksanakan Paulus. Hal yang menarik, perjalanan misioner Paulus ini hanya dilaporkan dalam Kisah Para Rasul, sementara Paulus sendiri dalam surat-suratnya tidak memberikan indikasi apa pun bahwa ia pernah mengadakan “perjalanan misi” ini. Perjalanan misioner Paulus itu adalah sbb:

·         Perjalanan misioner Paulus yang pertama dilaporkan dalam Kisah 13:4-14:28 (kira-kira terjadi pada 45-48). Rute yang dijalani Paulus adalah: Antiokhia (Siria) – Seleukia – Salamis – Pafos – Perga – Antiokhia di Pisidia – Ikonium – Listra – Derbe – Listra – Ikonium – Antiokhia di Pisidia – Perga – Antiokhia Siria.
·         Perjalanan misioner kedua dilaporkan dalam Kisah 15:36-18:23 (sekitar tahun 48-50) dengan rute sebagai berikut: Antiokhia – Siria – Kilikia – Derbe – Listra – Frigia – Misia – Troas – Samotrake – Neapolis – Filipi – Amfipolis – Apolonia – Tesalonika – Berea – Atena – Kaisarea – Yerusalem – Antiokhia.
·         Perjalanan misioner ketiga diceritakan dalam Kis 18:23-21:17 (terjadi sekitar 52-58) dengan rute: Antiokhia – Frigia – Efesus (3 tahun) – Makedonia – Filipi – Troas – Asos – Metilene – Samos – Miletus – Knidus – Rhodos – Patara – Mitra – Tirus – Ptolomais – Kaisarea.
·         Perjalanan ke Roma. Cerita perjalanan ke Roma dapat dibaca dalam Kisah 21:15-28:31. Tampaknya perjalanan Paulus yang terakhir ini terjadi sekitar60 M. Rutenya adalah: Antipatris – Kaisarea – Sidon – Mira – Kreta – Malta – Sirakusa – Regium – Putioli – Roma.

Dalam memberitakan Injil, pertama-tama Paulus berkhotbah di synagoge atau rumah ibadat. Pendengar mereka adalah orang-orang Yahudi dan non-Yahudi (disebut orang “yang takut akan Allah”). Jika masyarakat Yahudi menolak Injil, maka pemberitaannya dialihkan kepada kelompok non-Yahudi (Kis. 13:46).
Perjalanan pertama Paulus mengalami kesuksesan, namun juga kegagalan. Di Ikonium, terjadi konflik dengan orang-orang Yahudi yang menolak pewartaannya (Kis. 14:1-7). Di Listra, ia dilempari batu (Kis. 14:19). Namun di wilayah Pisidia, ia berhasil ’mengkristenkan’ sejumlah orang, sekalipun mendapat perlawanan dari kalangan Yahudi fanatik (Kis. 13:45). Karena itu, Paulus dan Barnabas kemudian mengalihkan pewartaan mereka kepada bangsa-bangsa non-Yahudi (Kis. 13:46). Kendati mengalami beberapa penolakan dan perpisahan dengan Yohanes Markus di Perga, pemberitaan Injil berhasil menumbuhkan jemaat di daerah Pisidia, Pamfilia, tepatnya di kota Antiokhia, Ikonium, Listra, Derbe dan mungkin Perga. Paulus dan Barnabas melihat bahwa Allah telah membuka pintu iman bangsa-bangsa non-Yahudi (Kis. 14:28).
Bagi jemaat-jemaat muda, kekristenan merupakan sesuatu yang masih baru. Mereka belum memahami secara penuh makna menjadi Kristen dalam kehidupan sehari-hari. Karena itu, tidak mengherankan jika jemaat-jemaat cepat sekali menjadi bingung ketika harus berhadapan dengan situasi konkret yang berbeda dengan iman mereka. Dalam konteks seperti inilah surat-surat Paulus harus ditempatkan. Surat-surat Paulus dikirimkan dengan maksud tertentu, yaitu untuk membantu jemaat menjawab persoalan yang sedang mereka hadapi.

IV.             Autobiografi Rasul Paulus
Sebagaimana dilaporkan dalam Galatia 1:17–24, setelah mendapat penampakan Kristus, ia pergi ke Damaskus dan kemudian ke Arab, yaitu Kerajaan Nabataea, yang disebut “Provinsi Arabia.”  Perutusan di Arabia, yang diberikan oleh Kristus kepadanya adalah perutusan pada orang-orang bukan Yahudi. Paulus tidak memulai sendiri karya pewartaan ini. Ia bergabung dengan karya pewartaan yang telah dirintis oleh Gereja Damaskus. Setelah itu, Paulus kemudian kembali. Tidak diketahui dengan pasti, apakah karya pengutusan ke Arab ini sukses atau tidak (lihat juga Gal. 4:25; Kis. 2:11; 1 Clem. 25:1, 3; bdk. Rm. 15:19).
Paulus menekankan bahwa setelah penampakan dan pengutusan dari Kristus, ia memilih untuk tidak berkonsultasi dengan para rasul lainnya di Yerusalem. Mengapa ia mengindari pertemuan dengan otoritas Kristen di Yerusalem? Alasan yang paling masuk akal tampaknya berhubungan dengan pengutusan di Arabia. Jika Paulus mau menganiaya jemaat Kristen di Damaskus karena ketidakpatuhan mereka pada Taurat, dan jika orang-orang Kristen itu telah memulai pengutusan kepada orang-orang non-Yahudi, di mana Paulus telah menggabungkan diri, maka sebaliknya para petobat Arab pastilah tidak mematuhi Taurat dan hukum sunat. Namun agaknya, gereja Yerusalem memandang jemaat baru ini  tanpa sikap yang jelas, atau bahkan tidak menyetujuinya. Maka, masuk akallah bahwa Paulus menghindar untuk bertemu dengan mereka.
Tiga tahun setelah pertobatannya, Paulus akhirnya pergi ke Yerusalem (Gal 1:18–24). Selama berada di sana, Paulus tidak banyak memperlihatkan diri. Pada waktu itu ia menjumpai Petrus selama 15 hari. Perjumpaan itu mengisyaratkan simpati Petrus pada aktivitas Paulus. Namun gereja secara keseluruhan sebenarnya telah terbelah menjadi dua kubu. Maka ketika Paulus mengatakan “aku tidak melihat seorang pun dari rasul-rasul yang lain, kecuali Yakobus, saudara Tuhan Yesus”, ia sebenarnya mau mengatakan bahwa ia menghindari mereka karena mereka tidak peduli padanya. Yakobus, kemungkinan karena ia bukanlah seorang rasul (misioner), menyambut baik kunjungannya. Apakah ketika mereka memuji Allah bagi Paulus tanpa pernah bertemu dengannya (Gal 1:22-24), gereja-gereja di Yerusalem dan Yudea mengetahui bahwa ia mewartakan injil tanpa mewajibkan mereka mematuhi Taurat dan hukum Sunat? Paling tidak kita dapat mengatakan bahwa tidak ada keputusan gamblang yang telah dibuat oleh gereja-gereja Palestina dan ketegangan itu pasti masih ada. Dari laporan ini kita dapat menyimpulkan bahwa ketegangan antara Paulus dan rasul-rasul lain muncul dari kebijakan mereka yang berbeda dalam hal pewartaan kepada orang bukan Yahudi. Setelah kunjungannya, Paulus melakukan karya pewartaan di daerah asalnya, Siria dan Kilikia (Gal. 1:21). Tidak jelas apakah Petrus dan Yakobus setuju dengan karya pewartaan ini.
Ketika Paulus datang lagi ke Yerusalem “setelah empat belas tahun” (Gal. 2:1), pewartaan di Siria dan Kilikia telah terlaksana dengan sukses. Paulus menyebutkan rekan kerja utamanya adalah Barnabas, seorang Yahudi Kristen seperti dirinya sendiri. Barnabas adalah guru Kristen Paulus (Kis. 4:36–37; 9:27). Gereja Yerusalem mengutusnya ke Antiokhia. Di sana ia menjadi tokoh pemimpin di antara orang-orang Kristen Yahudi dari Fenisia, Siprus, dan Siria/Kilikia. Ia pergi ke Tarsus untuk mencari Paulus dan membawanya ke Antiokhia (Kis. 11:25-26), tempat pewartaan bagi orang-orang Yunani dimulai (Kis. 11:20). Di tempat itulah nama “Kristen” (Christianoi) pertama kali digunakan (Kis. 11:26). Dari sini, Barnabas and Paulus diutus bersama-sama untuk melakukan karya pewartaan (Kis. 13:1–3) mulai dari Siprus (Kis. 13:4–12), kemudian ke Pamfilia dan Psidia (Kis. 13:13–14:28).
Karya pewartaan itu kemudian juga membawa permasalahan yang harus dipecahkan. Apakah para petobat baru non-Yahudi harus disunat atau tidak? Apakah gereja bagian dari Yudaisme atau merupakan agama Kristen yang mandiri? Setelah diskusi panjang (Kis. 15:1–2) dan bahkan ada pewahyuan (Gal. 2:2), Paulus dan Barnabas pergi ke Yerusalem, sambil membawa serta Titus, seorang petobat Kristen non-Yahudi yang tidak disunat. Konsili Yerusalem (Gal. 2:1–10; Kis. 15:2–29) terbelah ke dalam tiga kubu, dua di antaranya memiliki sikap yang saling berlawanan terhadap permasalahan utama itu, sedangkan kubu ketiga berusaha tetap netral. Setelah diskusi yang cukup hangat, Paulus dkk (Barnabas dan Titus) menang, mendapatkan pengakuan bahwa Titus adalah seorang Kristen tanpa harus sunat. Namun dibuatkan suatu kompromi. Karya pewartaan Kristen dibagi menjadi dua arah, yang pertama pada orang-orang Yahudi, (di bawah wibawa rasul Petrus), dan yang kedua di bawah kepemimpinan Paulus dan Barnabas, tanpa gelar resmi (Gal. 2:8–9). Yang mempersatukan keduanya adalah iman yang sama kepada satu Allah (Gal. 2:8; Rm. 3:30; 10:12). Kesepakatan tersebut, dan juga janji untuk mengumpulkan uang  bagi orang-orang miskin di Yerusalem (Gal. 2:10), disetujui oleh ketiga “soko guru” (Yakobus, Kefas/Petrus, dan Yohanes), dan utusan dari Antiokhia (Paulus dan Barnabas), namun tidak disetujui oleh kubu lain yang sangat keras kepala, yang oleh Paulus disebut “saudara-saudara palsu yang menyusup” (Gal. 2:4). Konsili Yerusalem ini mempunyai konsekuensi besar tidak hanya bagi gereja, namun juga bagi masa depan hidup Paulus.
Masih ada pertanyaan, apakah orang-orang “Christianoi” bukan Yahudi mendirikan suatu agama baru? Atau, apakah orang Kristen, baik Yahudi maupun non-Yahudi, masih merupakan bagian dari Yudaisme? Ketidakjelasan masalah ini menjadi benih konflik selanjutnya (misal, kasus Timotius, Kis. 16:1–4), yang memuncak di Antiokiha (Gal. 2:11–14). Perselisihan muncul setelah kunjungan Petrus ke Antiokhia dan makan bersama dengan orang-orang Kristen non Yahudi. Perjamuan itu menandakan kesamaan mereka untuk ambil bagian dalam keselamatan Allah melalui Yesus Kristus. Namun kemudian dengan kedatangan “orang-orang Yakobus” yang datang dari Yerusalem, situasi berubah. Setelah debat yang sangat panas, Petrus dan orang-orang Kristen Yahudi lainnya mengecam habis-habisan dan memutuskan meja persaudaraan dengan orang-orang Kristen bukan Yahudi. Dengan demikian, mereka menegakkan lagi batas-batas antara makanan halal dan haram, dan mengeluarkan orang-orang Kristen bukan Yahudi dari lingkaran mereka. Namun Paulus tetap berpihak pada orang-orang Kristen bukan Yahudi. Ketika melakukan debat terbuka dengan Petrus, Paulus mengecam inkonsistensi dan kemunafikan Petrus dalam teologi dan praktik religiusnya. Hasilnya adalah terputusnya hubungan sama sekali antara Paulus dan para misionaris Yahudi-Kristen lainnya, termasuk juga dengan mantan gurunya, Barnabas (lihat juga Kis. 15:36–39). Dengan demikian Paulus dan gereja-gereja bukan Yahudi berdiri sendiri, meskipun  terus menerus diganggu oleh para misionaris Kristen Yahudi. Namun, Paulus tidak pernah kehilangan harapan bahwa suatu rekonsiliasi dengan gereja Yerusalem pasti akan tercapai. Harapan ini diwujudkannya dengan pengumpulan dana bagi kaum miskin di Yerusalem (1 Kor. 16:1–4; 2 Kor. 8 dan 9); dengan dukungan dari gereja Roma (Rm. 15:30–32).

Data lebih lanjut berkaitan dengan Karya Pewartaan di Galatia

Ringkasan biografis dalam Galatia 1:12–2:14 berakhir dengan episode Antiokhia. Meskipun tidak ada penjelasan lebih jauh, data selanjutnya dapat disimpulkan dari surat itu juga. Surat ini mengindikasikan pendirian gereja-gereja di Galatia. Kemudian, datanglah para penghasut yang anti-Paulus. Hasutan mereka itulah yang mendorong Paulus menulis surat Galatia. Jika kunjungan dan pendirian gereja-gereja itu dapat dihubungkan dengan Kisah 16:6, dan jika dihubungkan dengan Galatia 4:13, maka yang dimaksud dengan kunjungan kedua Paulus pastilah yang disebutkan dalam Kisah 18:23. Namun tidak jelas apakah Kisah memang memberi informasi mengenai gereja-gereja di Galatia. Perjalanan Paulus yang dituturkan dalam Kisah Para Rasul tampaknya hanya didasarkan pada beberapa informasi, sedangkan cerita secara keseluruhan merupakan karya pengarang Kisah, yang mencoba menempatkan potongan-potongan tradisi ke dalam suatu naskah yang dianggapnya konsisten. Kemungkinan memang ada perjalanan Paulus yang tidak diceritakan dalam Kisah Para Rasul. Surat Galatia menyebutkan suatu kunjungan untuk mendirikan gereja (Gal. 1:9; 4:13). Kesesuaian kunjungan kedua dengan Kisah 18:23 tergantung pada penafsiran atas kata to proteron (Gal. 4:13). Setelah pendirian gereja-gereja ini, dikatakan bahwa para misionaris Yahudi–Kristen hadir di antara mereka, dan untuk mencegah dampak negatif hasutan mereka, Paulus menuliskan surat ini. Rupanya, gereja-gereja di Galatia didirikan sebelum penulisan surat 1 Korintus, karena 1 Korintus 16:1–4 menyebut gereja-gereja Galatia itu dan pengumpulan dana bagi Yerusalem.

Karya Pewartaan di Makedonia dan Yunani

Untuk informasi berkaitan dengan karya pewartaan di Makedonia dan Yunani kita harus mempercayai data dalam surat-surat Paulus pada jemaat Tesalonika dan Korintus, dan juga Kisah Para Rasul. Menurut Kisah 16:6–10, Paulus pergi melalui Frigia, Galatia, dan, lewat Misia, menuju Troas. Dari sana ia memutuskan pergi ke Makedonia, menjawab penglihatan bahwa seorang Makedonia memintanya untuk datang. Timotius menyertainya dalam perjalanan ini (Kis 16:1–4), seperti juga Silas (Kis 15:40; 16:19, 25, 29; 17:4, 10, 14, 15; 18:5; meskipun, menurut Kis. 15:33 ia sudah pergi ke Yerusalem). Bersama-sama, ketiga orang ini (yang relasinya dibuktikan dalam surat-surat Paulus, 1 Tes. 1:1 [2 Tes. 1:1]; bdk 1 Tes. 3:2, 6; 2 Kor. 1:19) berlayar dari Troas lewat Samotrake menuju Neapolis, pelabuhan Filipi. Mereka mendapatkan sukses pertama di Filipi, di mana mereka mendirikan gereja pertama di Makedonia (Kis. 16:11–40). Dari Filipi mereka pergi ke Tesalonika, juga mendirikan sebuah gereja di sana (Kis. 17:1–9). Perhentian selanjutnya adalah Berea (Kis. 17:10–15), Atena (Kis. 17:16–34; 1 Tes. 3:1–2), dan Korintus (Kis. 18:1–17; 1 Kor. 1:1–2, 14, 16; 3:5–15; 16:15, 17); di semua kota ini, didirikanlah gereja-gereja. Menurut laporan Kisah Rasul, Korintus menutup perjalanan misioner yang kedua. Perjalanan ketiga dimulai dengan berlayarnya Paulus menuju Efesus bersama dengan Priskila dan Akwila (18:18–21). Yang lebih membingungkan adalah perjalanan aneh Paulus yang disebut dilakukan dari Efesus “turun” ke Kaisarea, kemudian “turun” ke Antiokhia, dan melalui Galatia dan Frigia kemabli ke Efesus (Kis. 18:22; 19:1).

Perjalanan ke Yerusalem

Pewahyuan lain membuat Paulus merencanakan perjalanan kedua ke Makedonia dan Akhaya, dan kemudian ke Yerusalem dan Roma (Kis 19:21–22). Terlebih dahulu mengutus Timotius dan Erastus, Paulus segera menyusul  mereka setelah terjadi keributan di Efesus yang didalangi oleh Demetrius (20:1). Ia pergi melalui Makedonia melalui Yunani, yaitu Korintus (20:2). Catatan langka ini, yang didasarkan pada beberapa sumber yang diketahui Lukas, kira-kira hanya bisa dihubungkan dengan apa yang sekarang kita kenal dengan surat-surat Paulus, terutama. 1 Korintus 16:1–11; 2 Korintus 1:8–11, 15–18; 2:12–13; 7:5–7, 13–16; Roma 15:22–31. Perbedaan utamanya adalah (1) bahwa situasi itu lebih rumit dari pada yang dikisahkan oleh Kisah Para Rasul; (2) bahwa Paulus mengubah rencana perjalanannya beberapa kali; dan (3) bahwa ia hampir kehilangan gereja Korintus yang dirintisnya karena perselisihan dan konflik internal.
Roma 15:22–31 menyebutkan bahwa Paulus pergi ke Korintus dan kemudian segera pergi ke Yerusalem. Kisah 20:1–6 mengisahkan bahwa para musuh Yahudi mencegahnya supaya jangan pergi dari Korintus menuju Siria. Malah, ia dipaksa kembali ke Makedonia dan Troas. Para utusan yang disebut dalam Kisah 20:4 (Sopater anak Pirus, Aristarkhus, Sekundus, Gayus, Timotius, Tikhikus dan Trofinus) akhirnya berkumpul di Troas dan pergi dari Asos, berlayar sepanjang pantai Metilene, Khios, Samos, dan Miletus, di mana Paulus menyampaikan salah perpisahan pada para tua-tua yang ditemuinya di sana (Kis. 20:13–38). Perjalanan menuju Palestina dijelaskan secara rinci dalam Kisah 21:1–7.
Setelah tiba di Palestina, mereka singgah di Kaisarea dan berencana untuk melanjutkan perjalanan ke Yerusalem, meskipun jemaat sudah mengingatkan Paulus bahwa malapetaka menunggu mereka di sana (Kis. 21:8–15, cf. Kis. 20:22–24; Rom 15:30–31). Di Yerusalem, Paulus dan utusannya pertama-tama disambut dengan ramah (Kis. 21:17), namun ketika ia mengunjungi Yakobus (Kis. 21:18), ia diberitahu tentang kebencian orang Yahudi. Laporan Paulus tentang kesuksesan karya pewartaan di antara orang-orang bukan Yahudi (Kis. 21:19–20a) berlawanan dengan sejumlah besar orang Kristen Yahudi di tanah air Yahudi yang masih setia pada Taurat. Mereka pun menganggap  karya pewartaan Paulus di antara orang-orang bukan Yahudi sebagai Bidah karena ia tidak mengharuskan para pentobat baru untuk setia pada Taurat Musa, hukum sunat dan gaya hidup orang Yahudi (Kis. 21:20b–21). Namun, para sesepuh Gereja, termasuk Yakobus, mengajukan rencana cerdik pada Paulus, menasihatinya untuk menjadi salah satu dari empat orang yang akan membawa rencana itu di antara mereka untuk memenuhi hukum nazar, mencukur kepala mereka, menyampaikan persembahan yang perlu, dan dengan demikian secara publik menunjukan pada pengikut mereka agama Yahudi (Kis. 21:22–26). Rencana itu hampir berhasil, namun gagal di menit-menit terakhir ketika orang-orang Yahudi dari Asia Kecil mengenali Paulus yang sedang berada di Bait Allah dan menghasut orang banyak untuk menangkap dia (Kis. 21:27–30). Tentara Romawi ikut campur tangan, menolongnya dari hukuman massa, namun kemudian menahannya (Kis. 21:31–36).

Perjalanan ke Roma
Bersama dengan para tahanan lainnya, Paulus kemudian dikirm ke Roma. Di bawah perlindungan Yulius, seorang tentara Romawi pengawal Kaisar Agustus, mereka berlayar dari Adramitium lewat Sidon sepanjang pantai Asia kecil ke Mira di daerah Likia (Kis. 27:1–5). Dari Mira mereka berlayar ke Itali (Kis. 27:6–8). Perjalanan ini hampir saja berakhir dengan bencana ketika mereka dihantam badai laut yang hebat, kapalnya karam, dan kapalnya kandas di Malta (Kis. 27:9–44), tidak menyadari di mana mereka berada (Kis. 28:1). Paulus tinggal selama tiga bulan dan diingat karena mukjizatnya yang luar biasa di sana (Kis. 28:2–10). Ketika musim dingin berakhir dan perjalanan dimulai lagi, Paulus yang masih disertai oleh Yulius, sekarang temannya, memakai kapal lain menuju Sirakusa di Sisilia, kemudian ke Regium dan Putioli di Itali (Kis. 28:11–14). Kemudian ia pun tiba di kota Roma, di mana orang Kristen Roma menemuinya di luar tembok kota yang disebut Forum Apius dan Tres Teberne (Kis. 28:15–16). Usaha oleh Paulus untuk menerangkan sendiri di hadapan para pemimpin Yahudi di kota Roma gagal (Kis. 28:17–28). Kisah Para Rasul kemudian menyimpulkan dengan mengatakan bahwa Paulus hidup di kota Roma selama dua tahun dengan biaya sendiri,  “dengan terus terang dan tanpa rintangan apa-apa ia memberitakan Kerajaan Allah dan mengajar tentang Tuhan Yesus Kristus.”  
Referensi….

Robert T. Boyd, Paul, The Apostle,  (New York: World Publishing, 1995)
Bdk. Donald Coggan, Five Makers of the New Testament,  (London: Hodder and Stoughton, 1962)
A. Brunôt SCJ, Paulus dan Pesannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1992)
Boyd, Paul the Apostle
Werner Georg Kümmel,The Theology of the New Testament , (Nashville: Abingdon, 3rdPrinting, 1978)
Pinchas Lapide/Peter Stuhlmacher, Paul: Rabbi and Apostle , (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1984)
Günther Bornkamm, The New Testament, A Guide to Its Writings (Philadelphia: Fortress Press, 3rd ed, 1978)
Oscar Skarsaune, Incarnation: Myth or Fact? (St. Louis: Concordia Publishing House, 1991)
Kümmel, The Theology of the New Testament
Skarsaune, Incarnation,
Archibald M. Hunter, Introducing New Testament Theology (London: SCM Press, Ltd., Cet. V, 1973)
Reginald Fuller, He That Cometh, The Birth of Jesus in the New Testament (Harrisburg: Morehouse Publishing, 1990)
Fuller, He that Cometh
Frederick Fyvie Bruce, Paul and His Converts (London: Lutterworth Press dan New York & Nashville: Abingdon Press, 1962),
Bruce, Paul and His Convert
Brunot, Paulus dan Pesannya (Yogyakarta: Kanisius, 1972)
Charles B. Cousar, The Letters of Paul (Nashville: Abingdon Press, 1996)
Krister Stendhal, Paul Among Jews and Gentiles (Philadelphia: Fortress Press, 1976)
Bornkamm, Paul,
Tom Jacobs SJ, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya,
Stanley B. Marrow, Paul: His Letters and His Theology (New York/ Mahwah: Paulist Press, 1986)
Longenecker, The Ministry and Message



[1]Robert T. Boyd, Paul, The Apostle,  (New York: World Publishing, 1995),  28
[2] Bdk. Donald Coggan, Five Makers of the New Testament,  (London: Hodder and Stoughton, 1962), 12-13.
[3] A. Brunôt SCJ, Paulus dan Pesannya, (Yogyakarta: Kanisius, 1992),  14-21.
[4] Boyd, Paul the Apostle,  31-32.
[5] Werner Georg Kümmel,The Theology of the New Testament , (Nashville: Abingdon, 3rdPrinting, 1978),  137-138.
[6] Pinchas Lapide/Peter Stuhlmacher, Paul: Rabbi and Apostle , (Minneapolis: Augsburg Publishing House, 1984),        27.
[7] Günther Bornkamm, The New Testament, A Guide to Its Writings (Philadelphia: Fortress Press, 3rd ed, 1978),       82-83.
[8] Oscar Skarsaune, Incarnation: Myth or Fact? (St. Louis: Concordia Publishing House, 1991),  14-5.
[9] Kümmel, The Theology of the New Testament,  140.
[10] Kümmel, The Theology of the NT, 139.
[11] Skarsaune, Incarnation, 15.
[12] Archibald M. Hunter, Introducing New Testament Theology (London: SCM Press, Ltd., Cet. V, 1973),  89.
[13] Reginald Fuller, He That Cometh, The Birth of Jesus in the New Testament (Harrisburg: Morehouse Publishing, 1990),  7.
[14] Fuller, He that Cometh, 9
[15] Frederick Fyvie Bruce, Paul and His Converts (London: Lutterworth Press dan New York & Nashville: Abingdon Press, 1962),  20-21.
[16] Bruce, Paul and His Convert, 13.
[17] Brunot, Paulus dan Pesannya (Yogyakarta: Kanisius, 1972), 26-28.
[18] Charles B. Cousar, The Letters of Paul (Nashville: Abingdon Press, 1996), 105-106.
[19] Krister Stendhal, Paul Among Jews and Gentiles (Philadelphia: Fortress Press, 1976), 7.
[20] Günther Bornkamm, Paul, (New York & Evanston: Harper &Row Publisher, 1971), 17.
[21] Bornkamm, Paul, 8.
[22] Bornkamm, Paul, 10-11.
[23] Tom Jacobs SJ, Paulus: Hidup, Karya dan Teologinya,  51.
[24] Bornkamm, Paul,  84.
[25] Bornkamm, Paul,  85.
[26] Stanley B. Marrow, Paul: His Letters and His Theology (New York/ Mahwah: Paulist Press, 1986), 31-32.
[27] Longenecker, The Ministry and Message, 35-36. 

Comments

Popular Posts